Sabtu, 10 Juli 2010

FILSAFAT MANAJEMEN STRATEJIK MUTU AKADEMIK


Oleh: Mulyono, MA.

Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Berlandaskan pada Filsafat Manajemen/Administrasi, Filsafat Mutu, Filsafat Pendidikan, Filsafat Manajemen Pendidikan maka dapat dikembangkan menjadi Filsafat Manajemen Stratejik Mutu Akademik. Karena itu kajian filsafat ini tentunya harus dikaji melalui sudut ontologi, epistemologi dan aksiologi dari manajemen stratejik mutu akademik perguruan tinggi.

Ontologi manajemen stratejik pengembangan mutu akademik perguruan tinggi adalah segala daya upaya organisasi pendidikan tinggi agar tetap survive bahkan mampu berdaya saing dengan upaya peningkatan mutu input, proses dan output pendidikan di tengah-tengah derasnya arus perubahan pada lingkungan eksternal maupun internal organisasi.

Epistemologi manajemen stratejik pengembangan mutu akademik perguruan tinggi yaitu dengan jalan melakukan langkah-langkah stratejik pengembangan organisasi pendidikan tinggi sebagaimana dikatakan Hunger & Wheelen (2003:9), bahwa proses manajemen stratejik meliputi empat elemen dasar: Pertama, pengamatan lingkungan, yang meliputi: (a) analisis lingkungan eksternal, dan (b) analisis lingkungan internal. Kedua, perumusan strategi, yang meliputi menetapkan: (a) visi, misi, (b) tujuan, (c) strategi, dan (d) kebijakan. Ketiga, implementasi strategi, yang meliputi: (a) program, (b) anggaran, (c) prosedur. Keempat, evaluasi dan pengendalian. Hal tersebut digambarkan Wheelen & Hunger (2003:11) sebagai berikut:


Sedangkan aksiologi manajemen stratejik pengembangan mutu akademik perguruan tinggi adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan pendidikan tinggi. Untuk itu sikap dan nilai-nilai penting yang perlu dikembangkan oleh organisasi ke segenap civitas kampus adalah daya juang dan daya tangguh agar tetap survive, keteguhan sekaligus kelenturan, kejelian melihat peluang sekaligus tantangan serta mampu mengolah segala sumber daya menjadi sumber kekuatan untuk mencapai keunggulan.

Porter (1992:2-3) mengkaitkan strategi dengan upaya organisasi untuk mencapai keunggulan bersaing, bahkan dikatakan bahwa strategi adalah alat penting dalam rangka mencapai keunggulan bersaing. Hal tersebut sejalan dengan tujuan strategi yaitu untuk mempertahankan atau mencapai suatu posisi keunggulan dibandingkan dengan pihak pesaing (Karhi Nisjar,1997:95). Implikasi dari kajian tersebut adalah bahwa organisasi dikatakan masih meraih suatu keunggulan apabila ia dapat memanfaatkan peluang-peluang dari lingkungannya, yang memungkinkan organisasi untuk menarik keuntungan-keuntungan dari bidang yang menjadi kekuatannya (Akdon, 2007:15-16).

Peningkatan mutu tidak dapat dilakukan secara spekulatif atau coba-coba. Semua tindakan dalam peningkatan mutu harus didasarkan data yang jelas. Demikian pula, tujuan, sasaran, dan target harus dinyatakan dalam wujud data yang jelas, sehingga kelak dapat dievaluasi ketercapaiannya secara cermat.

Semua komponen pendidikan; yaitu pimpinan lembaga, tenaga kependidikan, peserta didik (mahasiswa) dan bahkan orangtua harus didorong untuk mengambil peran masing-masing. Konsep ini dapat dilakukan melalui manajemen stratejik (strategic management) yang di dalamnya terkandung perencanaan stratejik (strategic planning). Manajemen stratejik akan semakin kokoh dalam pengembangan mutu akademik perguruan tinggi apabila visi, misi serta kebijakan dan strategi dilandasi pada filsafat mutu. Berdasarkan kajian ini maka yang disebut perguruan tinggi yang bermutu dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, antara lain: (1) Memiliki kejelasan visi, misi dan tujuan lembaga; (2) Memgembangkan tradisi/kultur akademik dengan baik; dan (3) Memiliki prestasi baik akademik maupun dan non akademik.

Adapun perbedaan lembaga perguruan tinggi yang bermutu dengan lembaga yang tidak bermutu baik negeri maupun swasta antara lain sebagai berikut: (1) Pada lembaga yang bermutu kepemimpinan mempunyai wawasan keunggulan, sedangkan pada lembaga yang tidak bermutu sikap pimpinan serba puas dengan yang ada. (2) Pada lembaga yang bermutu berdaya sendiri yaitu sifat kemandiriannya tinggi, sedangkan pada lembaga yang tidak bermutu sebaliknya yaitu ketergantungannya kepada pemerintah/pihak lain tinggi. (3) Pada lembaga yang bermutu keuangan dikelola dengan baik, sedangkan pada lembaga yang tidak bermutu keuangan dipegang oleh pimpinan.

Penutup

Filsafat adalah upaya manusia untuk mengetahui secara benar tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya baik mengenai hakekat, fungsi, ciri, kegunaan, masalah dan solusi dari masalah itu sendiri. Kajian filosofi manajemen mutu akademik diyakini akan menghasilkan citra yang baik bagi keberadaan perguruan tinggi di mata publik, dan akan memberikan imbalan keuangan dan psikologis bagi mereka yang tersedia menginvestasikan tenaga dan dana untuk membantu keberhasilan institusi. Filosofi mutu akademik perguruan tinggi menempatkan nilai-nilai, keyakinan organisasi, dan mengarahkan seluruh gerak civitas akademik dalam seluruh aspek kegiatan untuk mencapai visi, misi, dan tujuan kampus. Untuk itu demi keberhasilan manajemen stratejik peningkatan mutu akademik menuntut semua civitas untuk ikut berpartisipasi, yang berdampak pada meningkatnya perasaan ikut memiliki (sense of belonging), perasaan ikut bertanggungjawab (sense of responsibility), dan perasaan ikut berpartisipasi (sense of participation). Dengan kata lain manajemen stratejik berfungsi pula menyatukan sikap bahwa keberhasilan bukan sekedar untuk menajemen puncak, tetapi merupakan keberhasilan bersama atau untuk keseluruhan organisasi dan bahkan untuk masyarakat yang dilayani.

Berdasarkan uraian tentang keunggulan manajemen stratejik tersebut perlu dipahami bahwa pengimplementasiannya di lingkungan organisasi pendidikan tinggi termasuk perguruan tinggi bukanlah jaminan kesuksesan. Keberhasilan tergantung pada SDM atau pelaksananya bukan pada Manajemen Stratejik sebagai sarana. SDM sebagai pelaksana harus terdiri dari personil yang profesional, memiliki wawasan yang luas dan yang terpenting adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap moral dan/atau etika untuk menggunakan manajemen stratejik demi kepentingan perkembangan dan keunggulan akademik perguruan tinggi.

Daftar Pustaka

Akdon. (2007). Strategic Management For Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan). Bandung: Alfabeta, Cetakan Kedua.

Cortada, James, W., (1996). Total Quality Managemen, Terapan dalam Manajemen Sistem Informasi. Yogyakarta: Andi.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2003). Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdiknas.

Hunger, J. David & Thomas L. Wheelen. (2003). Manajemen Strategis. Penerjemah: Julianto Agung. Yogyakarta: Andi, 2003, Cetakan II.

Ilham, Muhammad. (2007). Manajemen Strategi Pengembangan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (Studi Kasus di IPDN Jawa Barat). Disertasi. Bandung: Program Studi Administrasi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Mulyadi. (1998). Total Quality Management. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Robbins, Stephens. (1998). Organizational Behavior, Concepts * Controversies * Applications, Eighth Edition.

Slamet. (2002). Perspektif Implementasi Total Quality Management (TQM) Pada Institusi Pendidikan Tinggi. Ulul Albab (Jurnal Studi Islam, Sains dan Teknologi). STAIN/UIN Malang. Volume 4 Nomor 1 Tahun 2002. Hal. 73-93

Suhardan, Dadang, dan Nugraha Sunarto. (2008). “Filsafat Administrasi Pendidikan”, dalam Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan, Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI Bandung.

Tampubolon, Daulat, P. (2001). Perguruan Tinggi Bermutu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tjiptono, F. & Diana, A., (1996). Total Quality Management, Edisi 2, Yogyakarta: Andi, 1996

Tjiptono, Fandy. (1999). Aplikasi Manajemen Kualitas, Usahawan, No. 11/TH.XXVII Nopember 1999.

PENGERTIAN MUTU

Oleh: Mulyono, MA.

Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Apa sebenarnya mutu atau kualitas itu? Banyak definisi tentang mutu, tergantung siapa yang memahami dan organisasi mana yang mengembangkan. W. Edwards Deming, seorang guru terkenal dibidang kualitas, menyebutkan “perbaikan kerkesinambungan (continous improvement)” (James W. Cortada, 1996:8). Sementara Goetsh & Davis (1994) dalam Tjiptono, merumuskan konsep holistik mengenai kualitas sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Kualitas adalah paduan sifat-sifat produk yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan langsung atau tidak langsung, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat masa kini dan masa depan (Tampubolon, 2001:108).

Mutu (quality) biasanya berkenaan dengan sifat kebaikan, maka dapat dipahami bahwa makna itu berkaitan dengan aspek nilai, yang berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari individu ke individu lainnya. Pemahaman tentang mutu juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan pendidikan dan ekonomi individu serta masyarakat. Bagi orang dan masyarakat yang belum berpendidikan, terutama di pedesaan, misalnya, makanan bermutu adalah yang enak (lezat) rasanya dan dapat membuat kenyang. Tetapi bagi orang dan masyarakat yang berpendidikan, terutama di perkotaan, makanan bermutu adalah yang bergizi, sesuai dengan ukuran kesehatan. Jadi kualitas secara singkat dapat dilihat dari berbagai aspek dan tergantung siapa yang memandang.

Ditilik sejarahnya, secara garis besar ada tiga tahap perkembangan konsep kualitas (Tjiptono & Diana, 1996). Tahap yang paling awal adalah era craftsmanship, di mana individu yang sangat terampil mengerjakan semua tugas yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dengan demikian pengendali kualitas bertumpuk satu orang atau yang disebut orang ‘superman’. Namun pendekatan ini sudah ditinggalkan orang, sesuai dengan perkembangan studi waktu dan gerak. Kedua pendekatan tradisional “ofter-the fact” yang sangat kental diwarnai dengan inspeksi tidak lagi memadai. Hasil inspeksi tidak lebih dari sekedar menyisihkan komponen yang jelek. Pendekatan ini tidak menyelesaikan masalah, karena tanggungjawab kualitas dibebankan semata-mata pada departemen kualitas, Ketiga, pendekatan 3K (Komunikasi, Koordinasi, dan Kerjasama) akibat pemisahan secara kaku antara think dan act. Kenyataan ini mendorong munculnya pendekatan kualitas total (Total Quality Approach) yang dalam pekembangannya lebih dikenal dengan istilah Total Quality Manajemen (TQM).

Total Quality Management (TQM) adalah suatu sistem manajemen yang berfokus kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan masyarakat (customer) pada tingkat biaya sesungguhnya yang secara berkelanjutan terus menurun (Mulyadi, 1998:10). TQM merupakan pendekatan sistem secara menyeluruh (bukan suatu bidang atau program terpisah), dan merupakan bagian terpadu strategi tingkat tinggi. Sistem ini bekerja secara horosintal menembus fungsi, melibatkan semua sumber daya manusia, dari atas sampai bawah, meluas ke hulu dan ke hilir, mencakup mata rantai input dan output serta pengguna. Robbins (1989:15), mendefinsikan TQM ada lima point, yaitu :

(1) Intense focus on the customer. The customer includes not only outsiders who buy the organization’s products or services but also internal customer (such as shiping or accounts payable personnel) who interact with and serve others in the organization; (2) Concern for continous improvement. TQM is a commitment to never being satisfied. “Very good” is not good enough. Quality can always be improved; (3) Improvement in the quality of everything the organization does. TQM uses a very broad definition of quality. It relates not only to the final product but also to how the organization handles deliveries, how rapidly it responds to complaints, how politely the phones are answered, and the like; (4) Accurate measurement. TQM uses statistical techniques to measure every critical performance variable in the organization’s operations. These performance variables are then compared against standards or benchmarks to indentify problems, the problems are traced to their roots, and the causes are eliminated; and (5) Empowerment of employees. TQM involves the people on the line in the improvement process. Teams are widely used in TQM programs as empowerment vehicles for finding and solving problems.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas berkelanjutan atau yang disebut dengan steps kualitas (Hikmat Wijaya, 1997), dia menyarankan adanya: (1) Komitmen manajemen (Management Commitment); (2) Tim Perbaikan Mutu (Quality Improvement Team); (3) Ukuran Mutu (Quality Measurement); (4) Biaya evaluasi (Cost of Quality Evaluation); (5) Kesadaran Mutu (Quality Awareness); (6) Tindakan Perbaikan (Corrective Action); (7) Pelatihan (Training); (8) Hari tanpa cacat (Zero Defects Day); (9) Penetapan Sasaran (Goal Setting); (10) Penghilangan penyebab Kesalahan (Error Causes Removal); (11) Pengakuan (Recognition); (12) Dewan Mutu (Quality Council); dan (13) Lakukan Lagi (Do it over again).

Dalam manajemen mutu pada umumnya, ada tiga fungsi pokok manajemen, yaitu Quality Planning, Quality Control, dan Quality Improvement. Dimana Quality Planning meliputi: (1) mengindentifikasi dan menentukan pelanggan, (2) mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pelanggan, (3) merencanakan produk yang sifat-sifatnya sesuai dengan kebutuhan pelanggan, (4) menyusun dan menentukan sistem dan proses-proses yang dapat menghasilkan produk yang direncanakan, (5) menjabarkan seluruh proses dalam sistem yang ditentukan menjadi kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah operasional (teknis). Kedua, Quality Control, yang meliputi: (1) melaksanakan rencana mutu yang ditetapkan sesuai dengan langkah dan prosedur teknis yang ditentukan, (2) mengadakan evaluasi terhadap semua proses/langkah selama proses itu berlangsung dan mencatat kesalahan/kelemahan yang terjadi, (3) melakukan perbaikan pada kesalahan/kelemahan yang terjadi berdasarkan hasil evaluasi, selama proses masih berlangsung, (4) melakukan evaluasi akhir terhadap proses dan produk, serta menginventarisasi kekuatan, kelemahan dan hal-hal baru untuk peningkatan mutu selanjutnya. Ketiga, Quality Improvement, yang meliputi: Menganalisis hasil evaluasi yang sudah dilakukan pada pengendalian mutu yang sudah terlaksana dan menentukan kelemahan-kelemahannya, (2) meneliti kembali kebutuhan pelanggan, (3) menyusun rencana peningkatan mutu berdasarkan data-data kelemahan dan kebutuhan pelanggan, (4) mempersiapkan semua sarana dan prasarana serta SDM yang diperlukan, (5) membentuk tim kerjasama dan memberdayakan agar mampu melaksanakan peningkatan mutu, dan (6) melaksanakan rencana peningkatan mutu dengan system dan proses seperti pengendalian mutu (Juran, 1992).

Oleh sebab itu, secara umum kualitas (quality) dapat dikembangkan dengan dua cara yaitu Macro Quality, yang bersifat strategis terutama pada produk yang mengandung sifat kebijakan stratejik. Pada point ini dikembangkan oleh manajemen puncak sebagai pengambil kebijakan. Dan Micro Quality, menyangkut kualitas yang bersifat teknis yang dikembangkan atau dilakukan oleh manajemen operasional yang dapat menentukan kualitas teknis. (Slamet, 2002:73-93).

FILSAFAT MANAJEMEN STRATEJIK

Oleh: Mulyono, MA.

Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Malang, 26 Juni 2010

Kajian filsafat dan konsep manajemen stratejik pengembangan mutu akademik perguruan tinggi merupakan bagian yang memberikan arah dan pandangan bagaimana pengelola pendidikan tinggi menjalankan tugasnya dengan didasari oleh nilai-nilai kebenaran, baik pada tataran teoritis maupun praktis.

Secara etimologi filsafat dalam bahasa Arab disebut Falsafah, dalam bahasa Yunani disebut Philosophia, dan dalam bahasa Inggris disebut Philosophy. Philos berarti mencintai, dan Sophia berarti kebenaran, kearifan, kebahagiaan. Dalam terjemahan umum filsafat sering diartikan menjadi "mencintai kepada kearifan, kebenaran atau kebahagiaan" atau usaha manusia dalam mencari kebenaran dan kearifan supaya menemukan kebahagiaan. Orang yang berfilsafat adalah mereka yang berfikir secara mendalam, meluas menyeluruh untuk menemukan akar dari suatu permasalahan. Jika terungkap akar permasalahannya, terbukalah tabir kehidupan yang sesungguhnya yang bisa membuat orang hidup menjadi bahagia.

Berfilsafat dimulai dari kekaguman, keheranan, keraguan dan kesangsian terhadap alam semesta. Dari perasaan tersebut, muncul upaya untuk mengamati dengan langkah menyelidiki, meneliti dan seterusnya (Suhardan dan Sunarto, 2008:1).

Sedang mutu akademik, sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia sangat penting maknanya bagi pembangunan nasional. Bahkan dapat dikatakan masa depan bangsa terletak pada keberadaan pendidikan yang berkualitas pada masa kini. Pada hal pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang berkualitas pula. Karena itu, upaya peningkatan mutu akademik perguruan tinggi merupakan titik stratejik dalam upaya untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.

Manajemen stratejik peningkatan mutu akademik merupakan suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada lembaga itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif dan kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen lembaga pendidikan untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat (Ilham, 2007:37-38).

FILSAFAT MANAJEMEN MUTU

Oleh: Mulyono, MA.
Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Malang, 26 Juni 2010

Filsafat mutu dan Manajemen Mutu Terpadu (MMT), terjemahan dari ”Total Quality Management (TQM)”, bermula di Amerika Serikat (AS) dalam tahun 1930-an. Di AS sendiri filosofi mutu dan MMT di masa itu tidak begitu mendapat perhatian. Tetapi dalam 1950-an, sesudah Perang Dunia II, pemimpin-pemimpin perusahaan Jepang mempelajari MMT dari para ahli AS, dan menerapkannya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Setelah penyesuaian-penyesuaian itu, sistem manajemen mutu di Jepang disebut ”Total Quality Control” (TQC) atau Pengendalian Mutu Total. Sejak penerapan tersebut, industri Jepang maju dengan pesat, sehingga pada tahun 1980-an dapat menguasai pasar dunia, termasuk pasar AS. Dalam tahun 1980-an para pengusaha AS menyadari sebab-sebab kekalahan mereka terhadap produk-produk Jepang. Karena itu, mereka kembali mempelajari MMT dan menerapkannya, sehingga produk-produk AS dapat menyaingi produk-produk Jepang. Keberhasilan dunia industri tersebut menarik perhatian para pengelola perguruan tinggi di AS, Inggris dan Jepang sendiri. Sejak tahun 1980-an, beberapa PT di negara-negara itu mulai menerapkan filsafat mutu dan MMT (Tampubolon, 2001:37).

Di Indonesia, kebijakan mutu pendidikan mulai diapresiasi setelah GBHN 1993 memberi prioritas terhadap pengembangan mutu sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK). Pemerintah mulai bersemangat untuk memperbaiki mutu, karena tidak mungkin pengembangan mutu SDM tanpa memperbaiki mutu pendidikan. Namun kebijakan strategis ini tidak mendapat implementasi yang memadai. Bahkan, dalam praktik di lapangan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan tergeser oleh prioritas pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pemerintah sangat disibukkan oleh kegiatan perluasan akses dan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun. Pada tahun 1996 persoalan mutu mulai ditangani lebih serius. Namun usaha perbaikan pendidikan tersebut belum sempat dilakukan dengan giat dan saksama, karena Indonesia sejak 1997 jatuh ditimpa krisis ekonomi yang paling berat. (Saha, 2008:2-3). Usaha perbaikan dan relevansi perguruan tinggi mendapat tekanan serius setidaknya tertuang dalam Strategi Pembangunan Pendidikan Tinggi-Jangka Panjang (SPPT-JP, 1996-2005).

Kemudian mendapat tekanan yang lebih serius sebagaimana tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy 2003-2010 yang ditetapkan Dikti Diknas yang disingkat menjadi HELTS 2003–2010. Di dalam Part I Chapter II HELTS 2003 –2010 dicantumkan Vision 2010, atau Visi 2010 Pendidikan Tinggi di Indonesia bahwa pada tahun 2010 terdapat sistem pendidikan tinggi yang sehat, yang secara efektif dikoordinasikan dan ditunjukkan oleh ciri-ciri kualitas, akses dan keadilan, serta otonomi.

Mengenai posisi dan arti penting penjaminan mutu pendidikan tinggi di suatu perguruan tinggi, dapat dikemukakan bahwa di masa mendatang eksistensi suatu perguruan tinggi tidak semata-mata tergantung pada pemerintah, melainkan terutama tergantung pada penilaian stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan) tentang mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya.

Agar eksistensinya terjamin, maka perguruan tinggi mau tidak mau harus menjalankan penjaminan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Perlu dikemukakan bahwa karena penilaian stakeholders senantiasa berkembang, maka penjaminan mutu juga harus selalu disesuaikan pada perkembangan itu secara berkelanjutan (continuous improvement). (Dikti, 2003: 8)

MENGEMBANGKAN MUTU AKADEMIK LPTK

Oleh: Mulyono, MA.

Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 20 Juni 2010

Dalam penyelenggaraan LPTK sebagai pelaksana Program Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) perlu dikembangkan mutu akademik LPTK berdasarkan pada seperangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh peserta didik calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar.

Perangkat kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila, nilai-nilai budaya dan agama. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.

Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, peserta didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi khususnya yang terkait. Adapun pemahaman terhadap hakekat kelembagaan LPTK, yaitu:

1) LPTK merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.

2) LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.

3) LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.

4) LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.

5) Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersama antara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.

Tentunya pendidikan berdasarkan kompetensi bagi tenaga kependidikan lainnya memerlukan perangkat asumsi yang berbeda.

Penutup

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad global, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Untuk menghasilkan guru yang profesional, maka tugas LPTK yang dengan berbagai bentuk dan ragamnya, mulai dari universitas, IKIP, FKIP, STKIP, Fakultas/Jurusan Tarbiyah yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN, PTAIS maupun PTIS) dengan segala daya dukung yang ada selayaknya mampu melahirkan sosok figur guru yang handal yang disebut sebagai “Pendidik/Guru Profesional”. Untuk dapat menghasilkan calon guru dan guru profesional tersebut maka sudah selayaknya para pengelola LPTK melakukan manajemen stratejik pengembangan mutu akademik melalui: penyusunan kurikulum yang memadai, proses pembelajaran yang inovatif dan konstruktif, tercukupi dosen-dosen dan tenaga akademik yang handal, membangun suasana akademik kampus yang ilmiah, edukatif dan religius, pemanfaatan laboratorium secara optimal, maupun peningkatkan kualitas PPL dan KKN serta kegiatan penelitian yang mendukung.

Daftar Pustaka

Baedhowi. (2008). Kebijakan tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Implikasinya terhadap Kebutuhan Penelitian dan Inovasi. Makalah disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan yang diselenggarakan oleh Balitbang Depdiknas, pada tanggal 12 – 14 Agustus 2008.

Isjoni. (2007). Guru dan Tanggungjawabnya. 6 April 2007. [Tersedia] http://artikel.us/ [Online] 9 September 2008.

Mohamad Surya. (2008). Memposisikan Profesi Guru dalam Tabloid Universitas Pendidikan Indonesia, Edisi Sembilan/Tahun Ke-03/20 Oktober 2008.

Oktovianus Sahulata. (2008). Guru dan Perubahan Paradigma Pembelajaran. 9 April 2008. [Tersedia] http://artikel.us/ [Online] 9 September 2008.

UUSPN No. 20 Tahun 2003. Bandung: Citra Umbara, 2003.

Wijaya Kusumah. (2007). Mengembangkan Budaya Lokal. 1 Desember 2007. [Tersedia] http://wijayalabs.blogspot.com/ [Online] 30 Oktober 2008.

Zahara Idris & Lisma Jamal. (1992). Pengantar Pendidikan 1. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

MENGKAJI ULANG TUGAS LPTK

Oleh: Mulyono, MA. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 20 Juni 2010

Sehubungan dengan berbagai permasalahan pendidikan dan rendahnya kualitas guru maupun dalam rangka mewujudkan sketsa pengembangan pendidikan di Indonesia ke depan, tentunya kurang lengkap kalau tidak disinggung tentang tugas Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) yang secara kelembagaan, pelaksanaannya dilakukan oleh Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) di universitas-universitas, IKIP, STKIP, dan Fakultas/Jurusan Tarbiyah dan atau Kependidikan/Keguruan di lingkungan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) baik UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, dan PTIS, maupun beberapa perguruan tinggi lain yang akhir-akhir ini juga berpartisipasi menyelenggarakan kegiatan LPTK serta sejenisnya baik yang berstatus negeri maupun swasta.

Sementara ini, seringkali orang berbicara masalah pendidikan terfokus pada masalah kebijakan pendidikan, penyelenggaraan dan pelaksanaan sistem persekolahan/madrasah dengan segala kekurangan dan kelebihan, sekolah unggulan, gedung sekolah, merger sekolah, kurikulum, sertifikasi guru, pembiayaan pendidikan, ujian negara, lulusan dan masalah-masalah umum lainnya yang seringkali dibahas di media massa maupun dalam berbagai pertemuan. Nampaknya masyarakat luput membicarakan masalah LPTK kecuali mereka yang betul-betul memahami masalah pendidikan di Indonesia secara utuh dan komprehensif serta mereka yang memang bergelut dalam penyelenggaraan LPTK.

Masalah LPTK sangat penting dibicarakan banyak kalangan, karena sukses tidaknya penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia, baik kemarin kini dan akan datang sangat terkait dengan LPTK. Mengapa demikian? Karena LPTK sebagai salah satu lembaga formal-akademik yang menghasilkan sarjana–sarjana pendidikan ikut bertanggungjawab melahirkan guru-guru yang berkualitas, yang memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu pengetahuan dan kematangan profesional. Apa artinya kinerja wakil-wakil rakyat di DPR yang bersusah payah menelurkan berbagai perundang-undangan pendidikan yang dapat mencakup dan mengayomi seluruh penyelenggaraan sistem pendidikan nasional?; apa artinya begitu banyak kebijakan pemerintah yang terkait dengan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan?; apa artinya banyak pakar bersusah payah mengembangkan teori dan konsep tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang maju dan bermutu serta berbasis pada budaya bangsa, apa artinya kepala sekolah sangat mendesak untuk memotori implementasi MBS dan KTSP di sekolah masing-masing?; apa artinya para guru seringkali mendapat diklat dan pelatihan-pelatihan?; apa artinya para peserta didik mendapat beasiswa, BOS maupun BOM?; kalau pada realitasnya di negeri ini masih banyak perguruan tinggi penyelenggara LPTK melaksanakan tugasnya hanya asal-asalan bahkan tidak sedikit yang berorientasi bisnis semata dengan dalih “ngaji mumpung“ karena pendidikan guru saat ini sedang naik daun di negeri ini.

Semua apa yang kita lakukan dan diskusikan selama ini dari masalah A sampai Z tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia akan sia-sia belaka kalau pada akhirnya guru-guru sebagai ujung tombak pendidikan di negeri ini dihasilkan oleh LPTK-LPTK yang kurang berkualitas. Lingkaran setan rendahnya mutu pendidikan di negeri tidak akan putus kalau sebagian besar guru-guru kita di semua jenjang dan jenis pendidikan dari lulusan LPTK yang asal-asalan dan kurang menanamkan dedikasi kependidikan secara matang. Bagaimana hal itu bisa terjadi? LPTK sebagai “perusahaan“ jasa pengolah dan penghasil tenaga kependidikan bagaimana dapat menghasilkan tenaga kependidikan yang handal kalau penyelenggaraaan LPTK-nya sendiri asal-asalan. Secara nyata pabrik yang tenaga kerjanya kurang ahli serta mesinnya kurang baik tidak akan mungkin menghasilkan produksi barang yang baik, artinya produksi yang tanpa cacat (zero defect). Bagaimana LPTK dapat menghasilkan guru-guru yang bermutu kalau perusahaan jasa pengolah SDM itu sendiri kurang bermutu.

“Ibarat membendung sungai yang sedang banjir“ (dengan meminjam istilah Prof. Imam Suparyogo dari UIN Malang) atau laksana mengajak masyarakat bergotong royong meninggikan tanggul sungai tetapi pada saat yang sama kita membiarkan oknum masyarakat sendiri bebas menggunduli hutan. Apa artinya kita bersusah payah memperbaiki dan mengaspal jalan kalau pada saat yang sama pembangunan got-got saluran air tidak diperhatikan dan sampah menumpuk di mana-mana bahkan pembangunan di atas bantaran sungai dibiarkan begitu saja sehingga yang terjadi bencana banjir dan banjir setiap musim hujan. Inilah namanya pekerjaaan yang sia-sia, pembangunan yang membutuhkan dana besar, waktu dan tenaga yang banyak pada akhirnya hanya sia-sia karena olah segelintir orang maupun kurangnya perhatian pada aspek lain yang terkait.

Demikian juga dalam dunia pendidikan, apa artinya DPR bersusah payah mengesahkan perundang-undangan pendidikan yang komprehensif, apa gunanya pemerintah telah banyak mengesahkan peraturan pendukung serta berbagai kebijakan yang terkait dengan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan, insan pendidikan tergugah kesadaran dan semangatnya melaksanakan tugas sebaik-baiknya serta sarana prasarana pendidikan dipenuhi secara maksimal; semua pekerjaan mega besar bangsa tersebut akan sia-sia kalau pada saat yang sama pemerintah dan masyarakat membiarkan beberapa “oknum“ perguruan tinggi penyelenggara LPTK yang seringkali kurang mentaati tata aturan akademik dan etika pendidikan tinggi. Demikian juga akan menjadi bencana besar terhadap pembangunan SDM di masa mendatang, kalau pemerintah dan semua kalangan ”membiarkan” dan kurang mengawasi terhadap menjamurnya perguruan tinggi penyelenggara LPTK di daerah-daerah hingga pelosok-pelosok desa yang tidak diimbangi dengan persiapan SDM dan fasilitas pendukung yang memadahi.

Karena LPTK yang kurang bermutu akan menghasilkan tenaga-tenaga guru/kependidikan yang kurang bermutu. Tenaga guru/kependidikan yang kurang bermutu akan melaksanakan kinerja kependidikan dan KBM kurang bermutu. Pelaksanaan pendidikan dan KBM yang kurang bermutu akan menghasilkan lulusan yang kurang bermutu. Lulusan yang kurang bermutu akan menghasilkan anggota masyarakat dan tenaga kerja yang kurang bermutu. Anggota masyarakat yang kurang bermutu akan menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan dan keahlian, kesadaran, dedikasi, kedisiplinan serta etos kerja. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, kedisiplinan dan etos kerja menyebabkan mudahnya masyarakat melakukan berbagai pelanggaran pada tata aturan dan tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Sedang tenaga kerja yang kurang bermutu akan menghasilkan produksi barang maupun jasa yang kurang bermutu. Produksi barang dan jasa yang kurang bermutu akan menyebabkan rendahnya daya tawar dan daya serap baik pada pasaran domestik maupun internasional. Rendahnya daya serap dan daya tawar produksi jasa maupun barang dalam negeri menyebabkan lumpuhnya perekonomian nasional. Lumpuhnya perekonomian nasional menyebabkan tumbuhnya kemiskinan dan pengangguran. Tumbuh suburnya kemiskinan dan pengangguran menyebabkan munculnya kerawanan sosial. Kerawanan sosial menyebabkan munculnya krisis multidemensi yang meliputi ekonomi, politik, lingkungan, dan berkembang pada krisis nilai dan budaya serta puncaknya menyulutkan disintegrasi bangsa. Munculnya krisis multidimensi menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat dunia pada bangsa Indonesia. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat dunia berarti hancurlah jati diri bangsa. Hancurnya jati diri bangsa berarti sia-sialah semua mega perjuangan, dedikasi serta pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh putra-putra terbaik negeri ini, mulai dari para pahlawan, para pejuang pendiri bangsa maupun para pimpinan dan semua komponen bangsa dari generasi ke generasi.

Salah satu komponen bangsa yang bertindak sebagai ”setitik nila” yang dapat merusak ”susu sebelanga” adalah perguruan tinggi penyelenggara LPTK yang asal-asalan yaitu tidak mentaati dan memenuhi tata aturan akademik serta tata nilai penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi. Sehingga LPTK yang kurang bermutu tersebut tentunya sulit untuk menghasilkan calon-calon guru anak bangsa yang handal dan professional yang sekiranya dapat menopang terhadap peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Sebagaimana dijelaskan Surya (2008:4), setiap aspek pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Undang-undang Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggungjawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah. Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketidakmampuan LPTK menghasilkan guru yang berkualitas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Dengan kata lain pendidikan itu kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengenai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan paedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.

PROFESIONALISME GURU DAN TUGAS LPTK

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 2, menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Guru mempunyai tugas pokok: (a) menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; (b) membina perkembangan peserta didik secara utuh sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat; (c) melaksanakan tugas profesional lain dan administratif rutin yang mendukung pelaksanaan dua tugas utama di atas.

Guru menjadi figur yang teramat penting di tengah derasnya dinamika dan tuntutan perubahan kebijakan menyangkut peningkatan mutu pendidikan saat ini. Sebab apapun perubahan di bidang pendidikan, pada akhirnya akan ditentukan oleh guru melalui pekerjaan profesinya di ruang-ruang kelas. Sedemikian pentingnya peran guru tersebut, sehingga Kaisar Jepang pernah mempertanyakan jumlah guru yang dimiliki negaranya, setelah Jepang porak-poranda digempur Sekutu pada Agustus 1945. Disisi lain, ditengah tuntutan reformasi bidang pendidikan, guru pun menjadi sosok yang patut diperhitungkan. Persoalannya sekarang, apakah semua guru telah sadar akan peran dan fungsinya dalam proses reformasi tersebut? Ataukah guru masih terjebak dalam mimpi-mimpi indah dan tertidur dalam pelukan status quo yang mengedepankan guru sebagai sosok yang maha tahu (Sahulata, 2008).

Aktifitas proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan, dan guru sebagai salah satu pemegang utama di dalam menggerakkan kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan. Tugas utama seseorang guru ialah mendidik, mengajar, membimbing, melatih, oleh sebab itulah tanggung jawab keberhasilan pendidikan berada di pundak guru. Guru sebagai juru mudi dari sebuah kapal, mau kemana arah dan haluan kapal dihadapkan, bila juru mudinya pandai dan terampil, maka kapal akan berlayar selamat di tujuan, gelombang dan ombak sebesar apapun dapat dilaluinya dengan tenang dan tanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang juru mudi harus melalui pendidikan dan latihan khusus serta dengan memiliki keahlian khusus (Isjoni, 2008).

Demikian pula halnya seorang guru, agar proses pembelajaran berhasil dan mutu pendidikan meningkat, maka diperlukan guru yang memahami dan menghayati profesinya, dan tentunya guru yang memiliki wawasan pengetahuan dan keterampilan sehingga membuat proses pembelajaran aktif, guru mampu menciptakan suasana pembelajaran inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Untuk menjadi guru profesional juga memerlukan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan khusus.

Mengingat pentingnya profesionalisme guru dalam pencapaian tujuan pendidikan utamanya pada skala tingkat institusional, maka perlu adanya pelatihan dan profesionalisme guru, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang bisa dijadikan masukan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan terutama pada tingkat sekolah dasar sampai menengah baik negeri maupun swasta (Isjoni, 2008).

Guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional pada bidang pendidikan sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Sehingga upaya-upaya yang dilakukan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) di lingkungan Universitas, IKIP, STKIP, Fakultas/Jurusan Tarbiyah dan atau Keguruan pada UIN, IAIN, STAIN, PTAIS dan PTIS maupun organisasi-organisasi keguruan seperti PGRI dan MGMP untuk mendidik, membina, melatih, mengorganisasikan agar lahir sosok guru yang professional mutlak dilakukan. Dengan maksud tersebut maka dalam makalah ini dikaji upaya mewujudkan pengembangan mutu akademik LPTK untuk melahirkan sosok guru profesional.

PENINGKATAN MUTU BELAJAR BAHASA INGGRIS

PENINGKATAN MUTU BELAJAR BAHASA INGGRIS

Mulyono
Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
mulyonouin@gmail.com HP.
081-334691166

Minggu, 20 Juni 2010

Tony Buzan, ahli psikologi dari Inggris, mengatakan, ”Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebenarnya benar-benar brilian. Hanya dalam dua tahun, daya-serap bahasanya jauh lebih baik daripada seorang doktor di bidang apa pun. Dan dia telah dapat menguasainya pada usia tiga atau empat tahun”.[1]

Fakta sederhana tentang belajar Bahasa Inggris, yaitu: (1) Bahasa Inggris memiliki 550.000 kata. (2) 2.000 kata digunakan dalam 90% pembicaraan pada umumnya. (3) 400 kata digunakan dalam 65% tulisan pada umumnya. (4) Bahasa Inggris memiliki 26 huruf dan 44 jenis bunyi. (5) Cuma ada 70 kombinasi ejaan utama. (6) Separo kata kuncinya adalah fonetik, separonya lagi bukan.[2]

Berdasarkan fakta tersebut, penulis memberikan gambaran bahwa sebenarnya untuk pandai bicara dan menulis bahasa Inggris anak-anak cukup memiliki perbendaharaan sekitar 300 sampai 700 kosa kata dan itu dapat dicapai selama anak sekolah TK dan SD, dengan penjelasan sebagai tabel berikut:

Tabel 8.2.

Jumlah Kosa Kata yang Perlu Dikuasai Anak-anak Usia TK dan SD

TK

SD

0 KECIL

0

BESAR

1

2

3

4

5

6

JUMLAH

40

60

80

100

100

100

100

120

700

Mengapa pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia selama ini dianggap gagal? Karena guru-guru tidak memfokuskan pada kemampuan peserta didik untuk dapat menghafal dan menulis sejumlah kosa kata. Selama ini pelajaran bahasa lebih ditekankan pada grammer bukan pada pengucapan dan tulisan. Sehingga walaupun anak telah diberi pelajaran bahasa Inggris sejak SD hingga perguruan tinggi kenyataan hingga menjadi mahasiswa sekalipun belum mampu juga berbahasa Inggris. Dengan belajar keberhasilan Pondok Modern Gontor Ponorogo dalam pembelajaran bahasa Arab dan Inggris karena lebih menekankan pada penguasaan kosa kata dan percakapan bukan pada grammer atau tata bahasanya. Dari tabel di atas dipahami bahwa dengan pembelajaran yang intensif, maka anak sewaktu duduk di kelas 3 SD sudah dapat berbicara bahasa Inggris dengan memiliki sekitar 380 kosa kata dan lulus SD memiliki 700 kosa kata.

Menurut Gordon Dryden dan Colin Rose ada 24 langkah awal untuk mengajari anak-anak cepat mahir menulis, yaitu: (1) Bermain dengan bola besar pada masa merangkak. (2) Susun cangkir plastik untuk anak berusia 9 hingga 18 bulan. (3) Gunakan papan berpasak untuk anak berusia 12 hingga 18 bulan. (4) Puzzle sederhana dengan tombol besar untuk anak berusia 18 hingga 24 bulan. (5) Menalikan manik-manik besar untuk anak berusia 18 hingga 24 bulan. (6) Puzzle tangan yang lebih rumit sejak usia 2 tahun. (7) Menuangkan beras dari wadah ke wadah, lalu ganti menuang air. (8) Penulisan masa awal. (9) Sering-sering bermain air. (10) Melukis dengan tangan, spons, dan jari. (11) Berganti ke bola kecil. (12) Papan tulis kecil. (13) Makaroni tali antara usia 2 dan 3 tahun. (14) Serbet kertas berlipat dari usia 18 bulan. (15) Menyusun puzzle besar pada ulang tahun ketiga. (16) Menggambar di kertas besar mulai usia 3 tahun. (17) Lalu gunakan kertas yang lebih kecil. (18) Kepekaan jari mengenali huruf-huruf timbul. (19) Menyemir sepatu pada usia antara 3 sampai 5 tahun. (20) Menyalin nama sendiri menjelang ulang tahun keempat. (21) Anda menuliskan kisah pertamanya, dan anak menulis dengan menjiplak tulisan Anda. (22) Bantu dia menulis daftar belanja. (23) Bermainlah permainan menulis di komputer pribadi. (24) Dia ”keranjingan” menulis sebelum umur 5 tahun.[3]



[1] Benjamin S. Bloom, Stability and Change in Human Characteristics. John Wiley, 1964, Hlm. 37

[2] Gordon Dryden, Diadaptasi dari presentasi slide pada konferensi The Peoples Network Mastermind, Dallas, Texas, Juni 1996.

[3] Gordon Dryden dan Jeannette Vos, 2002, Ibid. Hlm. 260.