Sabtu, 10 Juli 2010

FILSAFAT MANAJEMEN MUTU

Oleh: Mulyono, MA.
Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Malang, 26 Juni 2010

Filsafat mutu dan Manajemen Mutu Terpadu (MMT), terjemahan dari ”Total Quality Management (TQM)”, bermula di Amerika Serikat (AS) dalam tahun 1930-an. Di AS sendiri filosofi mutu dan MMT di masa itu tidak begitu mendapat perhatian. Tetapi dalam 1950-an, sesudah Perang Dunia II, pemimpin-pemimpin perusahaan Jepang mempelajari MMT dari para ahli AS, dan menerapkannya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Setelah penyesuaian-penyesuaian itu, sistem manajemen mutu di Jepang disebut ”Total Quality Control” (TQC) atau Pengendalian Mutu Total. Sejak penerapan tersebut, industri Jepang maju dengan pesat, sehingga pada tahun 1980-an dapat menguasai pasar dunia, termasuk pasar AS. Dalam tahun 1980-an para pengusaha AS menyadari sebab-sebab kekalahan mereka terhadap produk-produk Jepang. Karena itu, mereka kembali mempelajari MMT dan menerapkannya, sehingga produk-produk AS dapat menyaingi produk-produk Jepang. Keberhasilan dunia industri tersebut menarik perhatian para pengelola perguruan tinggi di AS, Inggris dan Jepang sendiri. Sejak tahun 1980-an, beberapa PT di negara-negara itu mulai menerapkan filsafat mutu dan MMT (Tampubolon, 2001:37).

Di Indonesia, kebijakan mutu pendidikan mulai diapresiasi setelah GBHN 1993 memberi prioritas terhadap pengembangan mutu sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK). Pemerintah mulai bersemangat untuk memperbaiki mutu, karena tidak mungkin pengembangan mutu SDM tanpa memperbaiki mutu pendidikan. Namun kebijakan strategis ini tidak mendapat implementasi yang memadai. Bahkan, dalam praktik di lapangan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan tergeser oleh prioritas pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pemerintah sangat disibukkan oleh kegiatan perluasan akses dan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun. Pada tahun 1996 persoalan mutu mulai ditangani lebih serius. Namun usaha perbaikan pendidikan tersebut belum sempat dilakukan dengan giat dan saksama, karena Indonesia sejak 1997 jatuh ditimpa krisis ekonomi yang paling berat. (Saha, 2008:2-3). Usaha perbaikan dan relevansi perguruan tinggi mendapat tekanan serius setidaknya tertuang dalam Strategi Pembangunan Pendidikan Tinggi-Jangka Panjang (SPPT-JP, 1996-2005).

Kemudian mendapat tekanan yang lebih serius sebagaimana tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy 2003-2010 yang ditetapkan Dikti Diknas yang disingkat menjadi HELTS 2003–2010. Di dalam Part I Chapter II HELTS 2003 –2010 dicantumkan Vision 2010, atau Visi 2010 Pendidikan Tinggi di Indonesia bahwa pada tahun 2010 terdapat sistem pendidikan tinggi yang sehat, yang secara efektif dikoordinasikan dan ditunjukkan oleh ciri-ciri kualitas, akses dan keadilan, serta otonomi.

Mengenai posisi dan arti penting penjaminan mutu pendidikan tinggi di suatu perguruan tinggi, dapat dikemukakan bahwa di masa mendatang eksistensi suatu perguruan tinggi tidak semata-mata tergantung pada pemerintah, melainkan terutama tergantung pada penilaian stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan) tentang mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya.

Agar eksistensinya terjamin, maka perguruan tinggi mau tidak mau harus menjalankan penjaminan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Perlu dikemukakan bahwa karena penilaian stakeholders senantiasa berkembang, maka penjaminan mutu juga harus selalu disesuaikan pada perkembangan itu secara berkelanjutan (continuous improvement). (Dikti, 2003: 8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar