Sabtu, 10 Juli 2010

MENGKAJI ULANG TUGAS LPTK

Oleh: Mulyono, MA. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 20 Juni 2010

Sehubungan dengan berbagai permasalahan pendidikan dan rendahnya kualitas guru maupun dalam rangka mewujudkan sketsa pengembangan pendidikan di Indonesia ke depan, tentunya kurang lengkap kalau tidak disinggung tentang tugas Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) yang secara kelembagaan, pelaksanaannya dilakukan oleh Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) di universitas-universitas, IKIP, STKIP, dan Fakultas/Jurusan Tarbiyah dan atau Kependidikan/Keguruan di lingkungan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) baik UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, dan PTIS, maupun beberapa perguruan tinggi lain yang akhir-akhir ini juga berpartisipasi menyelenggarakan kegiatan LPTK serta sejenisnya baik yang berstatus negeri maupun swasta.

Sementara ini, seringkali orang berbicara masalah pendidikan terfokus pada masalah kebijakan pendidikan, penyelenggaraan dan pelaksanaan sistem persekolahan/madrasah dengan segala kekurangan dan kelebihan, sekolah unggulan, gedung sekolah, merger sekolah, kurikulum, sertifikasi guru, pembiayaan pendidikan, ujian negara, lulusan dan masalah-masalah umum lainnya yang seringkali dibahas di media massa maupun dalam berbagai pertemuan. Nampaknya masyarakat luput membicarakan masalah LPTK kecuali mereka yang betul-betul memahami masalah pendidikan di Indonesia secara utuh dan komprehensif serta mereka yang memang bergelut dalam penyelenggaraan LPTK.

Masalah LPTK sangat penting dibicarakan banyak kalangan, karena sukses tidaknya penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia, baik kemarin kini dan akan datang sangat terkait dengan LPTK. Mengapa demikian? Karena LPTK sebagai salah satu lembaga formal-akademik yang menghasilkan sarjana–sarjana pendidikan ikut bertanggungjawab melahirkan guru-guru yang berkualitas, yang memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu pengetahuan dan kematangan profesional. Apa artinya kinerja wakil-wakil rakyat di DPR yang bersusah payah menelurkan berbagai perundang-undangan pendidikan yang dapat mencakup dan mengayomi seluruh penyelenggaraan sistem pendidikan nasional?; apa artinya begitu banyak kebijakan pemerintah yang terkait dengan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan?; apa artinya banyak pakar bersusah payah mengembangkan teori dan konsep tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang maju dan bermutu serta berbasis pada budaya bangsa, apa artinya kepala sekolah sangat mendesak untuk memotori implementasi MBS dan KTSP di sekolah masing-masing?; apa artinya para guru seringkali mendapat diklat dan pelatihan-pelatihan?; apa artinya para peserta didik mendapat beasiswa, BOS maupun BOM?; kalau pada realitasnya di negeri ini masih banyak perguruan tinggi penyelenggara LPTK melaksanakan tugasnya hanya asal-asalan bahkan tidak sedikit yang berorientasi bisnis semata dengan dalih “ngaji mumpung“ karena pendidikan guru saat ini sedang naik daun di negeri ini.

Semua apa yang kita lakukan dan diskusikan selama ini dari masalah A sampai Z tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia akan sia-sia belaka kalau pada akhirnya guru-guru sebagai ujung tombak pendidikan di negeri ini dihasilkan oleh LPTK-LPTK yang kurang berkualitas. Lingkaran setan rendahnya mutu pendidikan di negeri tidak akan putus kalau sebagian besar guru-guru kita di semua jenjang dan jenis pendidikan dari lulusan LPTK yang asal-asalan dan kurang menanamkan dedikasi kependidikan secara matang. Bagaimana hal itu bisa terjadi? LPTK sebagai “perusahaan“ jasa pengolah dan penghasil tenaga kependidikan bagaimana dapat menghasilkan tenaga kependidikan yang handal kalau penyelenggaraaan LPTK-nya sendiri asal-asalan. Secara nyata pabrik yang tenaga kerjanya kurang ahli serta mesinnya kurang baik tidak akan mungkin menghasilkan produksi barang yang baik, artinya produksi yang tanpa cacat (zero defect). Bagaimana LPTK dapat menghasilkan guru-guru yang bermutu kalau perusahaan jasa pengolah SDM itu sendiri kurang bermutu.

“Ibarat membendung sungai yang sedang banjir“ (dengan meminjam istilah Prof. Imam Suparyogo dari UIN Malang) atau laksana mengajak masyarakat bergotong royong meninggikan tanggul sungai tetapi pada saat yang sama kita membiarkan oknum masyarakat sendiri bebas menggunduli hutan. Apa artinya kita bersusah payah memperbaiki dan mengaspal jalan kalau pada saat yang sama pembangunan got-got saluran air tidak diperhatikan dan sampah menumpuk di mana-mana bahkan pembangunan di atas bantaran sungai dibiarkan begitu saja sehingga yang terjadi bencana banjir dan banjir setiap musim hujan. Inilah namanya pekerjaaan yang sia-sia, pembangunan yang membutuhkan dana besar, waktu dan tenaga yang banyak pada akhirnya hanya sia-sia karena olah segelintir orang maupun kurangnya perhatian pada aspek lain yang terkait.

Demikian juga dalam dunia pendidikan, apa artinya DPR bersusah payah mengesahkan perundang-undangan pendidikan yang komprehensif, apa gunanya pemerintah telah banyak mengesahkan peraturan pendukung serta berbagai kebijakan yang terkait dengan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan, insan pendidikan tergugah kesadaran dan semangatnya melaksanakan tugas sebaik-baiknya serta sarana prasarana pendidikan dipenuhi secara maksimal; semua pekerjaan mega besar bangsa tersebut akan sia-sia kalau pada saat yang sama pemerintah dan masyarakat membiarkan beberapa “oknum“ perguruan tinggi penyelenggara LPTK yang seringkali kurang mentaati tata aturan akademik dan etika pendidikan tinggi. Demikian juga akan menjadi bencana besar terhadap pembangunan SDM di masa mendatang, kalau pemerintah dan semua kalangan ”membiarkan” dan kurang mengawasi terhadap menjamurnya perguruan tinggi penyelenggara LPTK di daerah-daerah hingga pelosok-pelosok desa yang tidak diimbangi dengan persiapan SDM dan fasilitas pendukung yang memadahi.

Karena LPTK yang kurang bermutu akan menghasilkan tenaga-tenaga guru/kependidikan yang kurang bermutu. Tenaga guru/kependidikan yang kurang bermutu akan melaksanakan kinerja kependidikan dan KBM kurang bermutu. Pelaksanaan pendidikan dan KBM yang kurang bermutu akan menghasilkan lulusan yang kurang bermutu. Lulusan yang kurang bermutu akan menghasilkan anggota masyarakat dan tenaga kerja yang kurang bermutu. Anggota masyarakat yang kurang bermutu akan menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan dan keahlian, kesadaran, dedikasi, kedisiplinan serta etos kerja. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, kedisiplinan dan etos kerja menyebabkan mudahnya masyarakat melakukan berbagai pelanggaran pada tata aturan dan tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Sedang tenaga kerja yang kurang bermutu akan menghasilkan produksi barang maupun jasa yang kurang bermutu. Produksi barang dan jasa yang kurang bermutu akan menyebabkan rendahnya daya tawar dan daya serap baik pada pasaran domestik maupun internasional. Rendahnya daya serap dan daya tawar produksi jasa maupun barang dalam negeri menyebabkan lumpuhnya perekonomian nasional. Lumpuhnya perekonomian nasional menyebabkan tumbuhnya kemiskinan dan pengangguran. Tumbuh suburnya kemiskinan dan pengangguran menyebabkan munculnya kerawanan sosial. Kerawanan sosial menyebabkan munculnya krisis multidemensi yang meliputi ekonomi, politik, lingkungan, dan berkembang pada krisis nilai dan budaya serta puncaknya menyulutkan disintegrasi bangsa. Munculnya krisis multidimensi menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat dunia pada bangsa Indonesia. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat dunia berarti hancurlah jati diri bangsa. Hancurnya jati diri bangsa berarti sia-sialah semua mega perjuangan, dedikasi serta pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh putra-putra terbaik negeri ini, mulai dari para pahlawan, para pejuang pendiri bangsa maupun para pimpinan dan semua komponen bangsa dari generasi ke generasi.

Salah satu komponen bangsa yang bertindak sebagai ”setitik nila” yang dapat merusak ”susu sebelanga” adalah perguruan tinggi penyelenggara LPTK yang asal-asalan yaitu tidak mentaati dan memenuhi tata aturan akademik serta tata nilai penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi. Sehingga LPTK yang kurang bermutu tersebut tentunya sulit untuk menghasilkan calon-calon guru anak bangsa yang handal dan professional yang sekiranya dapat menopang terhadap peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Sebagaimana dijelaskan Surya (2008:4), setiap aspek pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Undang-undang Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggungjawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah. Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketidakmampuan LPTK menghasilkan guru yang berkualitas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Dengan kata lain pendidikan itu kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengenai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan paedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar