Sabtu, 10 Juli 2010

PENGERTIAN MUTU

Oleh: Mulyono, MA.

Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Apa sebenarnya mutu atau kualitas itu? Banyak definisi tentang mutu, tergantung siapa yang memahami dan organisasi mana yang mengembangkan. W. Edwards Deming, seorang guru terkenal dibidang kualitas, menyebutkan “perbaikan kerkesinambungan (continous improvement)” (James W. Cortada, 1996:8). Sementara Goetsh & Davis (1994) dalam Tjiptono, merumuskan konsep holistik mengenai kualitas sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Kualitas adalah paduan sifat-sifat produk yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan langsung atau tidak langsung, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat masa kini dan masa depan (Tampubolon, 2001:108).

Mutu (quality) biasanya berkenaan dengan sifat kebaikan, maka dapat dipahami bahwa makna itu berkaitan dengan aspek nilai, yang berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari individu ke individu lainnya. Pemahaman tentang mutu juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan pendidikan dan ekonomi individu serta masyarakat. Bagi orang dan masyarakat yang belum berpendidikan, terutama di pedesaan, misalnya, makanan bermutu adalah yang enak (lezat) rasanya dan dapat membuat kenyang. Tetapi bagi orang dan masyarakat yang berpendidikan, terutama di perkotaan, makanan bermutu adalah yang bergizi, sesuai dengan ukuran kesehatan. Jadi kualitas secara singkat dapat dilihat dari berbagai aspek dan tergantung siapa yang memandang.

Ditilik sejarahnya, secara garis besar ada tiga tahap perkembangan konsep kualitas (Tjiptono & Diana, 1996). Tahap yang paling awal adalah era craftsmanship, di mana individu yang sangat terampil mengerjakan semua tugas yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dengan demikian pengendali kualitas bertumpuk satu orang atau yang disebut orang ‘superman’. Namun pendekatan ini sudah ditinggalkan orang, sesuai dengan perkembangan studi waktu dan gerak. Kedua pendekatan tradisional “ofter-the fact” yang sangat kental diwarnai dengan inspeksi tidak lagi memadai. Hasil inspeksi tidak lebih dari sekedar menyisihkan komponen yang jelek. Pendekatan ini tidak menyelesaikan masalah, karena tanggungjawab kualitas dibebankan semata-mata pada departemen kualitas, Ketiga, pendekatan 3K (Komunikasi, Koordinasi, dan Kerjasama) akibat pemisahan secara kaku antara think dan act. Kenyataan ini mendorong munculnya pendekatan kualitas total (Total Quality Approach) yang dalam pekembangannya lebih dikenal dengan istilah Total Quality Manajemen (TQM).

Total Quality Management (TQM) adalah suatu sistem manajemen yang berfokus kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan masyarakat (customer) pada tingkat biaya sesungguhnya yang secara berkelanjutan terus menurun (Mulyadi, 1998:10). TQM merupakan pendekatan sistem secara menyeluruh (bukan suatu bidang atau program terpisah), dan merupakan bagian terpadu strategi tingkat tinggi. Sistem ini bekerja secara horosintal menembus fungsi, melibatkan semua sumber daya manusia, dari atas sampai bawah, meluas ke hulu dan ke hilir, mencakup mata rantai input dan output serta pengguna. Robbins (1989:15), mendefinsikan TQM ada lima point, yaitu :

(1) Intense focus on the customer. The customer includes not only outsiders who buy the organization’s products or services but also internal customer (such as shiping or accounts payable personnel) who interact with and serve others in the organization; (2) Concern for continous improvement. TQM is a commitment to never being satisfied. “Very good” is not good enough. Quality can always be improved; (3) Improvement in the quality of everything the organization does. TQM uses a very broad definition of quality. It relates not only to the final product but also to how the organization handles deliveries, how rapidly it responds to complaints, how politely the phones are answered, and the like; (4) Accurate measurement. TQM uses statistical techniques to measure every critical performance variable in the organization’s operations. These performance variables are then compared against standards or benchmarks to indentify problems, the problems are traced to their roots, and the causes are eliminated; and (5) Empowerment of employees. TQM involves the people on the line in the improvement process. Teams are widely used in TQM programs as empowerment vehicles for finding and solving problems.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas berkelanjutan atau yang disebut dengan steps kualitas (Hikmat Wijaya, 1997), dia menyarankan adanya: (1) Komitmen manajemen (Management Commitment); (2) Tim Perbaikan Mutu (Quality Improvement Team); (3) Ukuran Mutu (Quality Measurement); (4) Biaya evaluasi (Cost of Quality Evaluation); (5) Kesadaran Mutu (Quality Awareness); (6) Tindakan Perbaikan (Corrective Action); (7) Pelatihan (Training); (8) Hari tanpa cacat (Zero Defects Day); (9) Penetapan Sasaran (Goal Setting); (10) Penghilangan penyebab Kesalahan (Error Causes Removal); (11) Pengakuan (Recognition); (12) Dewan Mutu (Quality Council); dan (13) Lakukan Lagi (Do it over again).

Dalam manajemen mutu pada umumnya, ada tiga fungsi pokok manajemen, yaitu Quality Planning, Quality Control, dan Quality Improvement. Dimana Quality Planning meliputi: (1) mengindentifikasi dan menentukan pelanggan, (2) mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pelanggan, (3) merencanakan produk yang sifat-sifatnya sesuai dengan kebutuhan pelanggan, (4) menyusun dan menentukan sistem dan proses-proses yang dapat menghasilkan produk yang direncanakan, (5) menjabarkan seluruh proses dalam sistem yang ditentukan menjadi kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah operasional (teknis). Kedua, Quality Control, yang meliputi: (1) melaksanakan rencana mutu yang ditetapkan sesuai dengan langkah dan prosedur teknis yang ditentukan, (2) mengadakan evaluasi terhadap semua proses/langkah selama proses itu berlangsung dan mencatat kesalahan/kelemahan yang terjadi, (3) melakukan perbaikan pada kesalahan/kelemahan yang terjadi berdasarkan hasil evaluasi, selama proses masih berlangsung, (4) melakukan evaluasi akhir terhadap proses dan produk, serta menginventarisasi kekuatan, kelemahan dan hal-hal baru untuk peningkatan mutu selanjutnya. Ketiga, Quality Improvement, yang meliputi: Menganalisis hasil evaluasi yang sudah dilakukan pada pengendalian mutu yang sudah terlaksana dan menentukan kelemahan-kelemahannya, (2) meneliti kembali kebutuhan pelanggan, (3) menyusun rencana peningkatan mutu berdasarkan data-data kelemahan dan kebutuhan pelanggan, (4) mempersiapkan semua sarana dan prasarana serta SDM yang diperlukan, (5) membentuk tim kerjasama dan memberdayakan agar mampu melaksanakan peningkatan mutu, dan (6) melaksanakan rencana peningkatan mutu dengan system dan proses seperti pengendalian mutu (Juran, 1992).

Oleh sebab itu, secara umum kualitas (quality) dapat dikembangkan dengan dua cara yaitu Macro Quality, yang bersifat strategis terutama pada produk yang mengandung sifat kebijakan stratejik. Pada point ini dikembangkan oleh manajemen puncak sebagai pengambil kebijakan. Dan Micro Quality, menyangkut kualitas yang bersifat teknis yang dikembangkan atau dilakukan oleh manajemen operasional yang dapat menentukan kualitas teknis. (Slamet, 2002:73-93).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar